PIOLK https://piolk.ubaya.ac.id/ University of Surabaya Mon, 29 Jan 2024 02:15:22 +0000 en-US hourly 1 Vasodilator Perifer pada terapi Peripheral Artery Disease (PAD) https://piolk.ubaya.ac.id/2024/01/25/vasodilator-perifer-pada-terapi-peripheral-artery-disease-pad/ Thu, 25 Jan 2024 07:56:08 +0000 https://piolk.ubaya.ac.id/?p=2218 Ditulis oleh Dr. apt. Yosi Irawati Wibowo, S.Si. M.Pharm.   Vasodilator perifer merupakan obat yang menyebabkan relaksasi otot polos pembuluh darah perifer. Salah satu indikasi vasodilator perifer adalah sebagai terapi Peripheral Artery Disease (PAD) – yaitu: suatu penyakit kronis terkait aterosklerosis pada pembuluh darah perifer, sehingga mengakibatkan komplikasi pada anggota gerak, seperti intermittent claudication, ulcer […]

The post Vasodilator Perifer pada terapi Peripheral Artery Disease (PAD) appeared first on PIOLK.

]]>
Ditulis oleh Dr. apt. Yosi Irawati Wibowo, S.Si. M.Pharm.

 

Vasodilator perifer merupakan obat yang menyebabkan relaksasi otot polos pembuluh darah perifer. Salah satu indikasi vasodilator perifer adalah sebagai terapi Peripheral Artery Disease (PAD) – yaitu: suatu penyakit kronis terkait aterosklerosis pada pembuluh darah perifer, sehingga mengakibatkan komplikasi pada anggota gerak, seperti intermittent claudication, ulcer iskemik, gangren, dan gangguan fungsi anggota gerak.1, 2 Oleh karena terkait dengan aterosklerosis, pasien PAD juga berisiko mengalami penyakit kardiovaskular dan bahkan kematian.1,2,3

 Kapan digunakan vasodilator perifer?

Terapi utama PAD bertujuan untuk mengatasi gejala dan mencegah terjadinya komplikasi maupun penyakit kardiovaskular.1,2,3 Pada pasien PAD yang simptomatik (nyeri saat berjalan sehingga jarak yang ditempuh menjadi terbatas – intermittent claudication), vasodilator perifer merupakan salah satu pilihan terapi obat yang dapat diberikan untuk mengatasi gejala; pilihan terapi obat yang lain adalah: obat antihipertensi (seperti: verapamil), statin, dan antiplatelet.3 Beberapa pedoman terapi menyarankan pemberian vasodilator perifer jika terapi olah raga tidak  memberikan hasil yang optimal, atau jika pasien tidak dapat atau menolak revaskularisasi.1, 2, 3

 Apa saja pilihan vasodilator perifer pada PAD?

  • Cilostazol

Cilostazol merupakan penghambat phosphodiesterase (PDE 3) sehingga terjadi peningkatan cAMP yang berperan pada relaksasi otot polos. Berdasarkan 2016 AHA/ACC Guideline on the Management of Patients with Lower Extremity PAD (Amerika Serikat), cilostazol merupakan vasodilator perifer yang direkomendasikan pada simptomatik PAD (level I).2 Rekomendasi ini didasarkan Cochrane systematic review oleh Bedenis et al. (2014):4 Cilostazol 100 mg 2x sehari versus Plasebo (n=6 penelitian acak terkontrol) –  menunjukkan peningkatan jarak berjalan (mean difference 31,41 meter, 95% CI 22,38 – 40,45 metres; p < 0,001).

  • Naftidrofuryl

Naftidrofuryl merupakan penghambat reseptor serotonin 5-HT2 sehingga dapat menghambat efek vasokonstriksi. Naftidrofuryl tidak digunakan/beredar di Amerika Serikat, namun menjadi vasodilator perifer yang direkomendasikan untuk simptomatik PAD di Inggris  (NICE Guideline 2012) maupun di Eropa (2017 ESC Guidelines on the Diagnosis and Treatment of Peripheral Arterial Diseases).1,3 Rekomendasi ini didukung  Cochrane systematic review oleh de Backer et al. (2008):5

  • Naftidrofuryl versus Plasebo (n=6 penelitian acak terkontrol) – memberikan rasio perbaikan jarak berjalan sebesar 1,37 (95% CI 1,27 – 1,49, p < 0,001)
  • Naftidrofuryl versus Plasebo (n=7 penelitian acak terkontrol) – menunjukkan peningkatan jumlah pasien yang memberikan respon sebesar 22,3% (95% CI 17,1 – 27,6), dengan number needed to treat (NNT) sebesar 4,5 (95% CI 3,6 – 5,8).

Lebih lanjut, data dari systematic review oleh (Stevens et al, 2012) menunjukkan Naftidrofuryl memberikan efektivitas yang lebih baik dibandingkan Cilostazol dan Pentoxifylline:6

  • Naftidrofuryl versus Plasebo: perbaikan maximum walking distance (MWD) sebesar 60% (95% CI 20 – 114), dan pain free walking distance (PFWD) sebesar 49% (95% CI 23 – 81)
  • Cilostazol versus Plasebo: perbaikan MWD sebesar 25% (95% CI 11 – 40), dan PFWD sebesar 13% (95% CI 2 – 26)
  • Pentoxifylline versus Plasebo: perbaikan MWD 11% (95% CI -1 – 24), dan PFWD sebesar 9% (95% CI -2 – 22).
  • Vasodilator perifer yang lain

Vasodilator perifer lain yang sudah diteliti antara lain adalah prostanoid (seperti: iloprost, beraprost, tapostrene), pentoxifylline, buflomedil. Hasilnya menunjukkan bahwa data dari penelitian yang sudah dilakukan masih belum cukup konsisten untuk mendukung pemberian agen ini pada simptomatik PAD atau pasien PAD dengan gejala claudication.3, 7- 9

Practice Points:

  • Terapi utama pada simptomatik PAD adalah olah raga dan terapi obat kardiovaskular (seperti: statin dan antiplatelet)
  • Vasodilator perifer dapat dipertimbangkan pemberiannya pada pasien dengan simptomatik PAD jika terapi olah raga tidak memberikan hasil yang memuaskan atau terapi revaskularisasi tidak dimungkinkan
  • Jika diperlukan pemberian vasodilator perifer, rekomendasinya adalah Cilostazol dan/atau Naftidrofuryl. Penggunaan vasodilator perifer lain, seperti Prostanoids, Pentoxyphylline dan Buflomedil, belum didukung bukti yang cukup dan konsisten.

 

Daftar Pustaka

  1. National Institute for Health and Care Excellence (NICE). Peripheral artery disease: diagnosis and management. 2012 (updated 2020). Availablet at: https://www.nice.org.uk/guidance/cg147/chapter/recommendations
  2. Gerhard-Herman MD, et al. 2016 AHA/ACC Guideline on the management of patients with lower extremity PAD: A report of the American College of Cardiology/American Heart Association Task Force on Clinical Practice Guidelines. Circulation 2017; 135(12): e726-e779. doi: 10.1161/CIR.0000000000000471.
  3. Aboyans E, et al. 2017 ESC Guidelines on the diagnosis and treatment of Peripheral Arterial Diseases, in collaboration with the European Society for Vascular Surgery (ESVS). European Heart Journal 2018; 39: 763–821. doi:10.1093/eurheartj/ehx095
  4. Bedenis R, Stewart M, Cleanthis M, Robless P, Mikhailidis DP, Stansby G. Cilostazol for intermittent claudication. Cochrane Database Syst Rev 2014;10:CD003748.
    Hiatt WR MS, Brass EP. Long-term safety of cilostazol in patients with peripheral artery disease: the CASTLE study (Cilostazol: A Study in Long-term Effects). J Vasc Surg 2008;47:330–336.
  5. de Backer TLM, Stichele RV, Lehert P, Van Bortel L. Naftidrofuryl for intermittent claudication. Cochrane Database Syst Rev 2008;2:CD001368.
  6. Stevens JW SE, Harnan S, Squires H, Meng Y, Thomas S, Michaels J, Stansby G. Systematic review of the efficacy of cilostazol, naftidrofuryl oxalate and pentoxifylline for the treatment of intermittent claudication. Br J Surg 2012;99:1630–1638.
  7. Robertson L, Andras A. Prostanoids for intermittent claudication. Cochrane Database Syst Rev 2013;4:CD000986.
  8. Salhiyyah K, Senanayake E, Abdel-Hadi M, Booth A, Michaels JA. Pentoxifylline for intermittent claudication. Cochrane Database Syst Rev 2012;1:CD005262.
  9. de Backer TLM, Vander Stichele R. Buflomedil for intermittent claudication. Cochrane Database of Systematic Reviews 2013, Issue 3. Art. No.: CD000988. DOI: 10.1002/14651858.CD000988.pub4.

The post Vasodilator Perifer pada terapi Peripheral Artery Disease (PAD) appeared first on PIOLK.

]]>
Pencegahan Sekunder Penyakit Jantung Rematik – Efektivitas Penisilin https://piolk.ubaya.ac.id/2024/01/25/pencegahan-sekunder-penyakit-jantung-rematik-efektivitas-penisilin/ Thu, 25 Jan 2024 07:38:13 +0000 https://piolk.ubaya.ac.id/?p=2215 Ditulis oleh: apt. Ika Mulyono Putri Wibowo, S.Farm., M.Farm-Klin.   Apa yang dimaksud dengan Penyakit Jantung Rematik? Penyakit jantung rematik merupakan penyakit kronis yang disebabkan oleh pengobatan infeksi yang tidak memadai. Biasanya terjadi akibat infeksi bakteri Streptococus pada faring atau yang biasa dikenal dengan Streptococcal pharyngitis. Infeksi faring disebabkan oleh Streptococcus beta hemolytic group A […]

The post Pencegahan Sekunder Penyakit Jantung Rematik – Efektivitas Penisilin appeared first on PIOLK.

]]>
Ditulis oleh: apt. Ika Mulyono Putri Wibowo, S.Farm., M.Farm-Klin.

 

Apa yang dimaksud dengan Penyakit Jantung Rematik?

Penyakit jantung rematik merupakan penyakit kronis yang disebabkan oleh pengobatan infeksi yang tidak memadai. Biasanya terjadi akibat infeksi bakteri Streptococus pada faring atau yang biasa dikenal dengan Streptococcal pharyngitis. Infeksi faring disebabkan oleh Streptococcus beta hemolytic group A apabila kondisi tersebut tidak ditangani dengan baik dapat menyebabkan munculnya demam rematik. Demam rematik merupakan kondisi inflamasi yang berpengaruh pada jantung dan sendi. Reaksi autoimun inilah yang menyebabkan kerusakan pada jaringan, peradangan pada lapisan jantung khususnya endotel katup. Akibatnya katup jantung tidak dapat menutup sempurna dan penurunan suplai darah ke seluruh tubuh dan aliran darah balik ke jantung. Tingkat kejadian dari penyakit ini terutama banyak ditemukan pada negara-negara dengan akses antibiotik yang terbatas.

Bagaimana tatalaksana terapinya?

Penatalaksanaan terapi untuk pencegahan sekunder penyakit jantung rematik tidak terlepas dari tatalaksana terapi demam rematik. Ada 3 (tiga) tatalaksana utama, yaitu tirah baring, pemberian anti radang, dan eradikasi bakteri. Tirah baring direkomendasikan untuk menurunkan beban kerja jantung. Durasi tirah baring bergantung pada tingkat keparahan penyakit. Secara umum untuk kondisi tanpa karditis, tirah baring direkomendasikan selama 1-2 minggu, pasien dengan karditis ringan selama 3-4 minggu, dan karditis sedang selama 4-6 minggu. Pemberian anti radang bervariasi tergantung kondisi pasien, pasien dengan artritis direkomendasikan NSAIDs seperti naproksen dan ibuprofen. Pasien dengan karditis direkomendasikan penggunaan kortikosteroid.

Terapi eradikasi bakteri yang dapat digunakan untuk pencegahan primer dan sekunder. Pencegahan primer dilakukan untuk mencegah terjadinya demam rematik akut, sedangkan pencegahan sekunder dilakukan untuk mencegah terjadinya penyakit jantung rematik. Berdasarkan pedoman terapi, penisilin merupakan antibiotik pilihan utama untuk pencegahan sekunder penyakit jantung rematik. British Medical Journal (BMJ) maupun American Heart Association (AHA) merekomendasikan penggunaan benzatin benzilpenisilin (penisilin G benzatin) 1,2 juta unit secara intramuskular setiap 3-4 minggu selama 5 tahun untuk kondisi tanpa karditis dan 10 tahun untuk kondisi dengan karditis. Hal ini kurang disukai selain karena muncul efek samping dari penggunaan obat, seperti nyeri pada lokasi injeksi dan reaksi anafilaksis, terdapat masalah ketersediaan obat, akses pasien untuk mendapatkan pengobatan termasuk kebutuhan tenaga ahli, dokumentasi tanggal injeksi terakhir (durasi pengobatan panjang), dan interaksi dengan obat-obat lain. Pilihan terapi kedua adalah fenoksimetil pensilin (penisilin V) 250 mg 2 kali sehari secara oral. Selain itu, pada kondisi dimana pasien tidak dapat menggunakan penisilin, seperti hipersensitif, direkomendasikan penggunaan golongan makrolida, eritromisin 250 mg 2 kali sehari secara oral.

Bagaimana efektivitas penisilin dalam pencegahan sekunder penyakit jantung rematik?

Sebuah kajian dari Cochrane dengan total sampel 1301 pasien, pemberian penisilin baik secara oral maupun intramuskular menunjukkan penurunan kejadian ulangan dari demam rematik sebesar 55%, penurunan kejadian infeksi Streptococcus sebesar 16% dibandingkan kelompok kontrol. Selain itu, kejadian kematian lebih besar pada kelompok kontrol dibandingkan kelompok uji. Penelitian yang membandingkan penggunaan intramuskular penisilin dengan oral penisilin (n=1098 pasien) dari 4 (empat) uji acak terkontrol (RCT) menunjukkan adanya kejadian demam rematik ulangan signifikan lebih besar pada kelompok oral penisilin dibandingkan dengan intramuskular penisilin, begitupun dengan kejadian infeksi Streptococcus. Penelitian lain yang juga membandingkan pemberian penisilin G benzatin sebagai profilaksis dibandingkan plasebo pada 916 pasien menunjukkan perkembangan kejadian dan perbaikan penyakit jantung rematik signifikan lebih baik pada kelompok yang mendapatkan profilaksis (p< 0,05). Penelitian menunjukkan untuk mendapatkan manfaat pada 1 pasien diperlukan sejumlah 13 pasien yang mendapatkan ptofilaksis, dengan kata lain number needed to treat dari penelitian ini adalah 13 (95% CI, 10-21). Hal ini juga menunjukkan adanya manfaat dari penggunaan pensilin G benzatin.

Penelitian pada pasien dengan penggantian katup dan mendapatkan antibiotik profilaksis dibandingkan dengan kontrol menunjukkan penyembuhan pada kelompok uji signifikan lebih baik dibandingkan kelompok kontrol (p< 0,05), namun tidak ada perbedaan pada kematian, re-operasi, dan kejadian masuk rumah sakit.

Practice points

Penyakit jantung rematik banyak terjadi pada pasien dengan usia 5-15 tahun dan pada negara-negara yang tidak meresepkan antibiotik untuk kondisi faringitis pasien serta tingkat kepatuhan pasien yang rendah.  Infeksi Streptococcus yang tidak terselesaikan bisa menjadi faktor risiko munculnya demam rematik dan penyakit jantung rematik. Pada pasien dengan risiko penyakit jantung rematik dapat diberikan pencegahan berupa antibiotik profilaksis. Antibiotik yang menjadi pilihan utama adalah benzatin benzilpenisilin yang diberikan secara intramuskular. Bukti klinis menunjukkan penggunaan penisilin G benzatin efektif untuk mencegah penyakit jantung rematik. Namun, beberapa masalah muncul dalam pemberian obat tersebut seperti reaksi pada lokasi injeksi, ketersediaan obat, kepatuhan pasien, membutuhkan akses yang mudah ke tempat pelayanan kesehatan dan tenaga ahli. Pilihan kedua antibiotik yang direkomendasikan oleh pedoman terapi penyakit jantung rematik adalah penggunaan fenoksimetilpenisilin atau yang lebih dikenal dengan penisilin V yang diberikan secara oral. Berdasarkan penelitian yang menilai efektivitas penisilin V dibandingkan penisilin G benzatin, penisilin V lebih tidak efektif. Apabila pasien tidak bisa mendapatkan penisilin G benzatin, penisilin V bisa menjadi penggantinya.

 

Referensi

  • Cilliers AM. Clinical Review. Rheumatic fever and its management. BMJ. 2006;333:1153-6.
  • Gerber MA, Baltimore RS, Eaton CB, et. al. Prevention of rheumatic fever and diagnosis and treatmemt of acute streptococcal pharyngitis. A scientific statement from the American heart association rheumatic fever, endocarditis, and Kawasaki disease committee of the council on functional genomics and translational biology, and interdisciplinary council on quality of care and outcomes research. American Heart Association. 2009.
  • Otto CM, Nishimura RA, Bonow RO, et. al. 2020 ACC/AHA guideline for the management of patients with valvular heart disease. A report of the American College of Cardiology/American Heart Association Joint Committee on Clinical Practice Guidelines. Circulation. 2021;143:e72-e227.
  • Sanyahumbi A, Ali S, Benjamin IJ, et.al. Penicillin Reactions in Patients With Severe Rheumatic Heart Disease: A Presidential Advisory From the American Heart Association. J Am Heart Assoc. 2022;11:e024517
  • Manyemba J, Mayosi BM. Penicillin for secondary prevention of rheumatic fever. Cochrane Database of Systematic Reviews 2002:3;CD00222. DOI: 10.1002/14651858.CD002227.
  • Al-Jazairi AS, Althobaiti AM, Marek J, Devol EB, Halees ZA, Mohty D, Fadel BM. Does secondary antibiotic prophylaxis improve clinical outcomes in adult rheumatic heart disease patients post-valve replacement? World J Pediatr Congenit Heart Surg. 2022:18;21501351221139834..
  • Beaton A, Okello E, Engelman D, Grobler A, Scheel A, DeWyer A, Sarnacki R, Omara IO, Rwebembera J, Sable C, Steer A. Determining the impact of Benzathine penicillin G prophylaxis in children with latent rheumatic heart disease (GOAL trial): Study protocol for a randomized controlled trial. Am Heart J. 2019 Sep;215:95-105. doi: 10.1016/j.ahj.2019.06.001. Epub 2019 Jun 8. PMID: 31301533.
  • Lalchandani A, Senthiraj, Godara M, Singh V, Kumar A, Ranjan A. Rheumatic fever & rheumatic heart disease: azithromycin must replace penicillin for treatment and prophylaxis. J Nepalgunj Med College. 2014:12(2);42-5.
  • Sanyahumbi A, Ali S, Benjamin IJ, et.al. Penicillin Reactions in Patients With Severe Rheumatic Heart Disease: A Presidential Advisory From the American Heart Association. J Am Heart Assoc. 2022;11:e024517.
  • Torres RPdA, Torres RFdA, Crombrugghe Gd, Moraes da Silva SP, Cordeiro SLV, Bosi KA, Smeesters PR and Torres RSLdA Improvement of Rheumatic Valvular Heart Disease in Patients Undergoing Prolonged Antibiotic Prophylaxis. Front. Cardiovasc. Med. 2021:8:676098.

The post Pencegahan Sekunder Penyakit Jantung Rematik – Efektivitas Penisilin appeared first on PIOLK.

]]>
Penggunaan Fenilefrin Injeksi pada Pasien dengan Syok Septik https://piolk.ubaya.ac.id/2023/05/04/penggunaan-fenilefrin-injeksi-pada-pasien-dengan-syok-septik/ Thu, 04 May 2023 02:23:37 +0000 https://piolk.ubaya.ac.id/?p=2196 Penulis: Dr. Cecilia Brata, S.Si., M.Pharm., Apt. Sepsis adalah disfungsi organ yang berbahaya sebagai akibat respon tubuh terhadap infeksi.1 Syok septik adalah kondisi yang terjadi pada sebagian pasien sepsis dimana terjadi abnormalitas sirkulasi dan metabolisme seluler. Syok septik mempunyai tingkat mortalitas yang cukup tinggi.2 Syok septik didefinisikan sebagai hipotensi persisten yang membutuhkan vasopressor untuk menjaga […]

The post Penggunaan Fenilefrin Injeksi pada Pasien dengan Syok Septik appeared first on PIOLK.

]]>
Penulis: Dr. Cecilia Brata, S.Si., M.Pharm., Apt.

Sepsis adalah disfungsi organ yang berbahaya sebagai akibat respon tubuh terhadap infeksi.1 Syok septik adalah kondisi yang terjadi pada sebagian pasien sepsis dimana terjadi abnormalitas sirkulasi dan metabolisme seluler. Syok septik mempunyai tingkat mortalitas yang cukup tinggi.2 Syok septik didefinisikan sebagai hipotensi persisten yang membutuhkan vasopressor untuk menjaga mean arterial pressure (MAP) 65mmHg atau lebih tinggi dan dimana serum laktat lebih dari 2 mmol/L (18 mg/dL) meskipun sudah diberikan resusitasi cairan.1 Tata laksana syok septik meliputi cairan resusitasi, antibiotik dan obat-obat vasopressor. 3,4

Fenilefrin injeksi merupakan salah satu vasopressor yang bekerja selektif sebagai α – 1 adrenergic receptor agonist.3 Efek dari α adrenergic dapat menyebabkan vasokonstriksi akan tetapi juga dapat menurunkan cardiac output dan perfusi berbagai macam sistem vaskular.3 Aktivitas fenilefrin yang merupakan pure  α – 1 adrenergic receptor agonist membuat kemungkinan terjadinya penurunan aliran darah splanchnic dan oxygen delivery pada pasien sepsis yang mungkin dapat memperburuk luaran klinis.3

The Society of Critical Care Medicine dan the European Society of Intensive Care Medicine pada Surviving Sepsis Campaign Guideline 2021 merekomendasikan norepinefrin sebagai terapi lini pertama vasopressor pada penanganan syok septik dan sudah tidak merekomendasikan penggunaan fenilefrin.4 Pedoman terapi dari Kementrian Kesehatan Republik Indonesia tahun NOMOR HK.01.07/MENKES/342/2017 tentang Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Tata Laksana Sepsis masih memasukkan fenilefrin, meskipun pemakaiannya dibatasi pada kondisi: (a) pemberian norepinefrin menimbulkan aritmia yang serius, (b) curah jantung tinggi dan tekanan darah tetap, (c) sebagai terapi pendukung bila kondisi obat inotropik atau vasopressor dan vasopressin dosis rendah tidak berhasil mencapai target rerata tekanan darah arteri.5  Selanjutnya, Panduan Praktek Klinis SMF Anesthesiologi dan Reanimasi RSUD Dr. Soetomo Surabaya mengenai Tata Laksana Gangguan Sistem Sirkulasi pada Sepsis dan Syok Septik tahun 2020 juga masih menunjukkan penggunaan fenilefrin sebagai vasopressor meskipun digunakan sebagai lini terakhir.6

Penelitian terkait fenilefrin sebagai vasopressor pada pasien syok septik dibandingkan dengan norepinefrin yang merupakan terapi lini pertama memberikan hasil yang bervariasi. Suatu penelitian randomised control trial yang membandingkan fenilefrin (16 pasien) dan norepinefrin (16 pasien) untuk inisiasi support  hemodinamik pada pasien syok septik menemukan tidak ada perbedaan mortalitas maupun lama perawatan di Intensive Care Unit (ICU) antara grup fenilefrin dan norepinefrin.7 Demikian pula tidak ditemukan adanya perbedaan signifikan untuk urine output dan creatinine clearance, serta variable terkait regional hemodynamics, acid-base homeostasis, ataupun oxygen transport antara dua grup tersebut.7 Penelitian lain oleh Jain et.al yang membandingkan fenilefrin (27 pasien) dan norepinefrin (27 pasien) pada pasien dengan dopamine resistant septic shock menunjukkan fenilefrin serupa dengan norepinefrin dalam mengembalikan abnormalitas hemodinamik dan metabolik pada pasien sepsis dan ditemukan adanya signifikansi penurunan heart rate dan peningkatan stroke volume pada grup fenilefrin.8

Walaupun kedua penelitian diatas menunjukkan tidak adanya perbedaan efektivitas maupun keamanan yang signifikan antara fenilefrin dan norepinefrin, beberapa penelitian menunjukkan adanya peningkatan mortalitas pada pasien syok septik yang menggunakan fenilefrin. Sebuah penelitian kohort retrospektif oleh Vail et.al dengan menggunakan 27.835 pasien (25874 pada kelompok norepinefrin vs 1961 pada kelompok fenilefrin) pada rumah sakit di Amerika yang terdampak kekosongan obat norepinefrin pada tahun 2011 menunjukkan bahwa ada peningkatan mortalitas pada kelompok fenilefrin dibandingkan kelompok norepinefrin (9283 dari 25.874 pasien [35.9%] vs 777 of 1961 pasien [39.6%], absolute mortality difference = 3.7% [95% CI, 1.5%-6.0%]; adjusted odds ratio [AOR] = 1.15 [95% CI, 1.01-1.30]; P = .03).9 Penelitian retrospektif dengan menggunakan chart review pada 469 pasien syok septik (148 pada fenilefrin grup vs 321 pada grup tanpa fenilefrin) menunjukkan bahwa terjadi peningkatan mortalitas secara bermakna pada kelompok fenilefrin (56% pada grup fenilefrin vs 41% pada grup tanpa fenilefrin; p = 0.003). Hasil dari subgroup analysis menunjukkan pasien yang takikardi secara bermakna terkait dengan peningkatan mortalitas pada grup fenilefrin dibandingkan grup  non-fenilefrin (54% vs 36%, p= 0.02). 10 Selanjutnya, penelitian kohort retrospektif oleh He et.al membandingkan tingkat mortalitas pada 1174 pasien syok septik yang menggunakan norepinefrin (1055 pasien) vs kombinasi norepinefrin dan fenilefrin (692 pasien).11 Hasil analisis baseline characteristics antara dua grup pada penelitian He et.al ini menunjukkan perbedaan signifikan pada banyak variabel, dan oleh sebab itu dilakukan berbagai macam uji statistik (meliputi: univariate logistic regression, multivariate step wise logistic regression, propensity score matching, dan doubly robust with all covariates).11 Seluruh hasil uji statistik tersebut menunjukkan hasil yang seragam, yakni tingkat mortalitas secara signifikan lebih tinggi pada grup kombinasi norepinefrin dan fenilefrin dibanding dengan penggunaan norepinefrin saja. Selain itu pasien pada grup kombinasi norepinefrin dan fenilefrin mempunyai lama perawatan di ICU dan rumah sakit yang lebih tinggi serta durasi penggunaan ventilasi mekanik yang lebih lama dibanding dengan yang menerima norepinefrin saja.11

Melihat dari berbagai penelitian dengan hasil yang bervariasi terkait keamanan penggunan fenilefrin pada pasien syok septik dan berdasarkan pedoman terapi internasional (The Society of Critical Care Medicine dan the European Society of Intensive Care Medicine pada Surviving Sepsis Campaign Guideline 2021) yang sudah tidak merekomendasikan penggunaan fenilefrin injeksi sebagai vasopressor pada penanganan syok septik, maka pemakaian fenilefrin pada syok septik sebaiknya mulai ditinggalkan atau perlu kajian lanjutan.

References

  1. Kalil A,Bailey KL. Septic Shock. [Updated 2020 Oct 7]. Available from: https://emedicine.medscape.com/article/168402-overview
  2. Mahapatra S, Heffner AC. Septic Shock. [Updated 2023 Feb 6]. In: StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2023 Jan-. Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK430939/
  3. Patel V. Analysis of Mortality in Patients Treated With Phenylephrine in Septic Shock. Journal of Pharmacy Practice 36(1): 15-18
  4. Evans L et.al. Surviving Sepsis Campaign: International Guidelines for Management of Sepsis and Septic Shock 2021. Intensive Care Med. 2021 Nov;47(11):1181-1247.
  5. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia NOMOR HK.01.07/MENKES/342/2017 tentang Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Tata Laksana Sepsis. Jakarta: 2017
  6. RSUD Dr. Soetomo. Panduan Praktek Klinis SMF Anesthesiologi dan Reanimasi RSUD Dr. Soetomo Surabaya: Tata Laksana Gangguan Sistem Sirkulasi pada Sepsis dan Syok Septik. 2020. Available from: https://rsudrsoetomo.jatimprov.go.id/wp-content/uploads/2021/02/PPK-Tatalaksana-Gangguan-Sistim-Sirkulasi-pada-Sepsis-dan-Syok-Septik.pdf
  7. Morelli A et.al. Phenylephrine versus norepinephrine for initial hemodynamic support of patients with septic shock: a randomized, controlled trial. Critical Care 2008, 12:R143
  8. Jain et.al. Comparison of phenylephrine and norepinephrine in the management of dopamine-resistant septic shock. Indian J Crit Care Med. 2010; 14(1): 29-34
  9. Vail E et.al. Association Between US Norepinephrine Shortage and Mortality Among Patients With Septic Shock. JAMA. 2017;317(14):1433-1442. doi:10.1001/jama.2017.2841.
  10. Patel V. Analysis of Mortality in Patients Treated With Phenylephrine in Septic Shock. Journal of Pharmacy Practice 36(1): 15-18.
  11. He et.al.  Norepinephrine combined with phenylephrine versus norepinephrine in patients with septic shock: a retrospective cohort study. BMC Infectious Diseases (2023) 23:221

The post Penggunaan Fenilefrin Injeksi pada Pasien dengan Syok Septik appeared first on PIOLK.

]]>
Reaksi Obat yang Tidak Dikehendaki Akibat Bahan Eksipien Sediaan Obat: Tinjauan tentang Etilen Glikol dan Dietilen Glikol https://piolk.ubaya.ac.id/2022/10/19/reaksi-obat-yang-tidak-dikehendaki-akibat-bahan-eksipien-sediaan-obat-tinjauan-tentang-etilen-glikol-dan-dietilen-glikol/ Wed, 19 Oct 2022 07:46:50 +0000 https://piolk.ubaya.ac.id/?p=2179 Sumber gambar: https://yhoo.it/3zf3hDh Penulis: 1. Dr. Sylvi Irawati, M. Farm-Klin., Apt. 2. Eko Setiawan, M. Sc., Apt. Departemen Farmasi Klinis Komunitas, Fakultas Farmasi, Universitas Surabaya Staf Apoteker, Pusat Informasi Obat dan Layanan Kefarmasian (PIOLK), Fakultas Farmasi, Universitas Surabaya Pada awal Oktober 2022, Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization, WHO) mengeluarkan peringatan terkait empat produk obat […]

The post Reaksi Obat yang Tidak Dikehendaki Akibat Bahan Eksipien Sediaan Obat: Tinjauan tentang Etilen Glikol dan Dietilen Glikol appeared first on PIOLK.

]]>
Sumber gambar: https://yhoo.it/3zf3hDh

Penulis:
1. Dr. Sylvi Irawati, M. Farm-Klin., Apt.
2. Eko Setiawan, M. Sc., Apt.

Departemen Farmasi Klinis Komunitas, Fakultas Farmasi, Universitas Surabaya Staf Apoteker, Pusat Informasi Obat dan Layanan Kefarmasian (PIOLK), Fakultas Farmasi, Universitas Surabaya

Pada awal Oktober 2022, Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization, WHO) mengeluarkan peringatan terkait empat produk obat yang diklasifikasikan sebagai “obat di bawah kriteria standar (substandard medicinal product)”.1 Keempat produk obat tersebut berbentuk sirup, diproduksi oleh sebuah perusahaan farmasi di India, dan mendapat ijin edar untuk indikasi, salah satunya adalah batuk.1,2 Awal mula dari peringatan tersebut didahului dengan adanya laporan kasus gangguan fungsi ginjal akut dan dikaitkan dengan 66 kasus kematian pada populasi anak di Republik Gambia setelah penggunaan keempat produk tersebut.2 Hasil pemeriksaan laboratorium menunjukkan bahwa keempat produk tersebut mengalami kontaminasi etilen glikol dan dietilen glikol dengan kadar yang melebihi ambang batas yang bisa diterima sebagai kontaminan.1,2

Etilen glikol dan dietilen glikol merupakan suatu bahan baku yang bermanfaat dalam berbagai bidang industri dan penting untuk diketahui bahwa kedua senyawa tersebut tidak sama dengan propilen glikol.3-6 Propilen glikol merupakan salah satu bahan eksipien dalam formulasi obat atau bahan tambahan dalam produk makanan yang diijinkan penggunaannya, termasuk untuk sediaan obat pada populasi anak.5,6 Biasanya, untuk membuat sirup, bahan pembawa yang digunakan adalah gliserin/gliserol, propilen glikol, atau sorbitol, sebagai penambah rasa manis maupun pelarut obat.4 Berbeda dengan propilen glikol, etilen glikol dan dietilen glikol tidak direkomendasikan sebagai bahan eksipien dalam produk obat sirup yang dibuat di perusahaan farmasi.

Larangan ijin edar produk obat yang mengandung etilen glikol atau dietilen glikol disebabkan oleh laporan reaksi obat yang tidak dikehendaki (ROTD) dari kedua senyawa tersebut. Tidak menutup kemungkinan, penggunaan etilen glikol atau dietilen glikol dapat menyebabkan ROTD yang berbahaya, termasuk: depresi sistem saraf pusat, gangguan fungsi ginjal akut, asidosis metabolik, dan meningkatkan risiko kematian.7 Larangan ijin edar bukan hanya untuk produk obat yang menyertakan etilen glikol atau dietilen glikol sebagai salah satu komponen formulasi, namun juga untuk produk obat yang terkontaminasi etilen glikol atau dietilen glikol dalam jumlah melebihi ambang batas yang bisa diterima sebagai kontaminan.7 Kontaminasi etilen glikol dan dietilen glikol dapat terjadi pada bahan eksipien lain yang digunakan dalam formulasi obat; dan beberapa bahan eksipien yang memiliki potensi terkontaminasi adalah gliserin dan propilen glikol.4,7,8 Sebagai contoh, batas kadar etilen glikol dan dietilen glikol dalam gliserin, masing-masing, adalah 0,1%.9 Penting untuk diketahui bahwa batas kadar kontaminasi mungkin dapat berubah di kemudian hari sehingga apoteker perlu selalu merujuk pada regulasi terbaru yang berlaku. Secara definisi, ketika suatu produk obat yang telah terdaftar pada lembaga pemberi ijin edar ditemukan tidak memenuhi standar kualitas atau spesifikasi produk atau keduanya, termasuk melebihi batas kontaminasi, maka produk tersebut diklasifikasikan sebagai “substandard medicinal product” atau “out of specification product.10 Beberapa laporan kasus menyebutkan penggunaan produk obat yang terkontaminasi etilen glikol dan dietilen glikol menyebabkan ROTD yang parah, termasuk kematian.3,7,11,12

Walaupun terdapat laporan kontaminasi produk, masyarakat diharapkan untuk tidak memiliki ketakutan yang berlebihan untuk menggunakan produk obat, termasuk sirup. Kejadian ROTD hanya terjadi ketika bahan baku yang digunakan mengalami kontaminasi etilen glikol atau dietilenglikol melebihi batas toleransi yang masih diijinkan. Lebih lanjut, sebagaimana dinyatakan oleh Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM), keempat produk obat sirup yang terkontaminasi oleh etilen glikol dan dietilen glikol tidak terdaftar dan tidak mendapat ijin edar di Indonesia.13

Upaya untuk memastikan keamanan penggunaan obat, termasuk menghindari penggunaan “substandard medicinal product” atau “out of specification product”, merupakan tanggung jawab berbagai pemangku kepentingan.14 Pertama, masyarakat sebagai konsumen memiliki peran penting untuk memiliki kesadaran dan kebiasaan untuk membaca komposisi produk obat yang digunakan. Selain itu, masyarakat dihimbau untuk melaporkan kepada tenaga kesehatan apabila mengalami gejala yang mengganggu ketika atau setelah menggunakan produk obat. Kedua, tenaga kesehatan, khususnya apoteker yang bekerja di sektor pemberian layanan kesehatan kepada masyarakat perlu memastikan sediaan obat diperoleh dari supplier resmi untuk menghindari distribusi obat substandard. Ketiga, sebagaimana juga direkomendasikan oleh lembaga pemberi ijin edar obat, termasuk Food and Drug Administration (FDA), perusahaan farmasi perlu memeriksa kemurnian bahan baku sebagaimana dipersyaratkan dalam Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB). Terakhir, lembaga pemberi ijin edar obat, termasuk BPOM, dapat melakukan sampling pemeriksaan kontaminasi pada produk obat yang memiliki risiko tinggi terkontaminasi secara berkala.

 

Referensi

1. World Health Organization. Medical Product Alert N°6/2022: substandard (contaminated) paediatric medicines [Internet]. Accessed 2022 October 18. Available from: https://www.who.int/news/item/05-10-2022-medical-product-alert-n-6-2022- substandard-(contaminated)-paediatric-medicines.
2. Thiagarajan K. WHO investigates cough syrups after deaths of 66 children in Gambia. BMJ;379:o2472. DOI: 10.1136/bmj.o2472.
3. Agency for Toxic Substances and Disease Registry. Ethylene glycol and propylene glycol [Internet]. Accessed 2022 October 18. Available from: https://www.mahoninghealth.org/wp-content/uploads/file/Documents/ Emergency%20Preparedness/Ethylene_Glycol_Facts.pdf.
4. Directorate General Health and Consumer Protection, European Commission. Opinion on diethylene glycol [Internet]. Accessed 2022 October 22. Available from: https://ec.europa.eu/health/ph_risk/committees/04_sccp /docs/sccp_o_139.pdf.
5. Rouaz K, Chiclana-Rodríguez B, Nardi-Ricart A, Suñé-Pou M, Mercadé-Frutos D, Suñé-Negre JM, et al. Excipients in the paediatric population: a review. Pharmaceutics 2021;13(3):387. DOI: 10.3390/pharmaceutics13030387.
6. European Medicines Agency. Propylene glycol used as an excipient [Internet]. Accessed 2022 October 18. Available from: https://www.ema.europa.eu/en/documents/report/propylene-glycol-used-excipient- report-published-support-questions-answers-propylene-glycol-used_en.pdf.
7. Hess R, Bartels MJ, Pottenger LH. Ethylene glycol: an estimate of tolerable levels of exposure based on a review of animal and human data. Arch Toxicol 2004;78(12):671-
80. DOI: 10.1007/s00204-004-0594-8.
8. O’Brien KL, Selanikio JD, Hecdivert C, Placide MF, Louis M, Barr DB, et al. Epidemic of pediatric deaths from acute renal failure caused by diethylene glycol poisoning. Acute Renal Failure Investigation Team. JAMA 1998;279(15):1175-80. DOI: 10.1001/jama.279.15.1175.
9. United States Pharmacopeia and National Formulary (USP-NF2021). Issue 1. United States Pharmacopeial Convention; 2021. Accessed 2022 October
18. https://online.uspnf.com/uspnf/document/GUID-AC788D41-90A2-4F36-A6E7- 769954A9ED09_1_en-US.
10. World Health Organization. Definitions of substandard and falsified (SF) medical Products [Internet]. Accessed 2022 October 18. Available from: https://www.who.int/teams/regulation-prequalification/incidents-and-SF/background/ definitions.
11. Alkahtani S, Sammons H, Choonara I. Epidemics of acute renal failure in children (diethylene glycol toxicity). Arch Dis Child. 2010;95(12):1062-4. DOI: 10.1136/adc.2010.183392.
12. U.S. Department of Health and Human Services Food and Drug Administration Center for Drug Evaluation and Research (CDER). Guidance for industry testing of glycerin for diethylene glycol [Internet]. Accessed 2022 October 18. Available from: https://www.fda.gov/media/71029/download.
13. Penjelasan BPOM RI tentang sirup obat untuk anak di Gambia, Afrika yang terkontaminasi dietilen glikol dan etilen glikol [Internet]. Accessed 2022 October 18. Available from:
14. Hamilton WL, Doyle C, Halliwell-Ewen M, Lambert G. Public health interventions to protect against falsified medicines: a systematic review of international, national and local policies. Health Policy Plan 2016;31(10):1448-1466. DOI: 10.1093/heapol/czw062.

The post Reaksi Obat yang Tidak Dikehendaki Akibat Bahan Eksipien Sediaan Obat: Tinjauan tentang Etilen Glikol dan Dietilen Glikol appeared first on PIOLK.

]]>
Dulaglutide: Glucagon-Like Peptide 1 Receptor Agonist sebagai Terapi Diabetes Tipe 2 https://piolk.ubaya.ac.id/2022/10/04/dulaglutide-glucagon-like-peptide-1-receptor-agonist-sebagai-terapi-diabetes-tipe-2/ Tue, 04 Oct 2022 03:04:32 +0000 https://piolk.ubaya.ac.id/?p=2173 Penulis: Dr. Yosi Irawati W., S.Si., M.Pharm., Apt. Glucagon-like Peptide 1 (GLP 1) merupakan bagian dari sistem inkretin yang berperan pada homeostasis glukosa; efek inkretin meningkatkan sekresi insulin sebagai respons masuknya makanan/glukosa, sehingga menurunkan glukosa darah.1 Pada pasien diabetes tipe 2, dapat terjadi penurunan efek inkretin, dimana pemberian GLP 1 receptor agonists dapat menjadi suatu […]

The post Dulaglutide: Glucagon-Like Peptide 1 Receptor Agonist sebagai Terapi Diabetes Tipe 2 appeared first on PIOLK.

]]>
Penulis: Dr. Yosi Irawati W., S.Si., M.Pharm., Apt.

Glucagon-like Peptide 1 (GLP 1) merupakan bagian dari sistem inkretin yang berperan pada homeostasis glukosa; efek inkretin meningkatkan sekresi insulin sebagai respons masuknya makanan/glukosa, sehingga menurunkan glukosa darah.1 Pada pasien diabetes tipe 2, dapat terjadi penurunan efek inkretin, dimana pemberian GLP 1 receptor agonists dapat menjadi suatu alternatif.1, 2

Dulaglutide merupakan salah satu GLP 1 receptor agonists yang telah mendapatkan persetujuan dari dari US Food and Drug Administration (FDA) pada tahun 2014 (diperbarui pada tahun 2017) sebagai terapi diabetes tipe 2, dan saat ini telah mendapatkan ijin edar di Indonesia.2,3 Dulaglutide diberikan secara injeksi subkutan dengan dosis awal 0,75 mg sekali seminggu, dan dapat ditingkatkan sampai dosis maksimum 4,5 mg sekali seminggu.3

Efektivitas. Pada berbagai studi klinis (randomized trial), Dulaglutide 75 dan 1,5 mg menunjukkan efektivitas kontrol glikemik sebagai monoterapi,4 maupun kombinasi terapi.5, 6. Pada pasien yang belum pernah mendapatkan terapi injeksi, Dulaglutide 0,75mg dan 1,5mg (+ antidiabetes oral) memberikan efek penurunan HbA1c yang lebih besar dibandingkan Insulin Glargine (+ antidiabetes oral) (-0,76 vs -1,08 vs -0,63), disertai efek hipoglikemia yang lebih rendah dan manfaat penurunan berat badan.7 Demikian juga pada pasien yang memerlukan intensifikasi terapi insulin, pemberian kombinasi Insulin Glargine dengan Dulaglutide menunjukkan efikasi yang lebih baik dibandingkan dengan insulin saja.8 Studi klinis lebih lanjut menunjukkan peningkatan dosis Dulaglutide 3,0 dan 4,5mg disertai dengan peningkatan efek pada penurunan HbA1c dan berat badan, tanpa adanya perbedaan profil efek samping yang signifikan.9

Pada studi dunia nyata di Amerika Serikat (matched cohort, n=903 pasangan), pasien dengan Dulaglutide menunjukkan penurunan HbA1c yang lebih besar dibandingkan dengan basal insulin (adjusted mean change −1,12 vs −0,51%; p<0,01), dengan pencapaian target HbA1c <7% yang juga lebih baik (42,5 vs 25,0%).10 Pasien dengan Dulaglutide juga menunjukkan adherence (57,1 vs 29,0%; p<0,05) dan persistence (59.4 vs 33.0%; p<0.001) yang lebih tinggi dari terapi insulin.10 Selain kontrol glikemik, Dulaglutide menunjukkan manfaat pada penurunan kejadian kardiovaskular. REWIND Cardiovascular Outcome Trials (24 negara, n=9901) menunjukkan kejadian kardiovaskular (yaitu: gabungan kejadian pertama kematian kardiovaskular, non-fatal miokard infark atau non-fatal stroke) yang lebih rendah pada pasien dengan Dulaglutide (+ 0–2 antidiabetes oral ± basal insulin) dibandingkan plasebo selama median pengamatan 5,4 tahun [hazard ratio (HR) 0,88; 95% CI 0,79–0,99; p=0,026].11 Post hoc exploratory analysis lebih lanjut menunjukkan manfaat Dulaglutide untuk penurunan kejadian gangguan ginjal: kejadian makroalbuminuria yang pertama (HR 0,77; 95% CI 0,68-0,87; p<0,0001), penurunan eGFR ≥30% (HR 0,89; 95%CI 0·78-1·01; p=0·066) dan terapi pengganti ginjal (HR 0,75; 95% CI 0,39-1,44; p=0·39).12

Keamanan. Dulaglutide secara umum dapat ditoleransi dengan baik. Efek samping yang paling sering terjadi (dilaporkan pada ≥ 5% pasien) meliputi mual, diare, muntah, abdominal pain, penurunan nafsu makan, dispepsia, dan kelelahan.3 Kejadian hipoglikemia pada pemberian Dulaglutide dilaporkan rendah, namun kemungkinan kejadian tetap perlu dipantau.3 Peringatan penting terkait pemberian Dulaglutide adalah kemungkinan peningkatan risiko terhadap sel tumor kelenjar tiroid, termasuk kanker tiroid meduler. Pengujian yang dilakukan pada hewan menunjukkan bahwa pemberian injeksi Dulaglutide pada tikus dapat mengembangkan sel tumor, meski belum diketahui korelasinya pada manusia.3

 

Practice Points:

  • GLP 1 receptor agonists menjadi pilihan pada pasien diabetes tipe 2 dengan Penyakit Kardiovaskular Aterosklerotik (PKVAS) atau risiko tinggi PKVAS atau penyakit ginjal kronik (PGK).13,14 Dulaglutide merupakan salah satu GLP 1 receptor agonist yang telah terbukti memberikan manfaat penurunan kejadian kardiovaskular maupun gangguan ginjal.
  • Dulaglutide dapat dipertimbangkan pemberiannya pada pasien dengan permasalahan hipoglikemia maupun peningkatan berat badan.13, 14
  • Secara umum, Dulaglutide dapat ditoleransi dengan baik. Namun perlu dipertimbangkan terkait efek sampingnya pada saluran cerna dan biayanya yang cukup mahal.

Daftar Pustaka

  1. McDougall C, McKay GA, Fisher M. Drugs for diabetes. Part 6 GLP-1 receptor agonists. Br J Cardiol. 2011;18(4):167-9.
  2. Pathni P. Tren terapi diabetes dengan GLP 2 receptor agonists. CDK journal. 2019; 45; 291.296.
  3. Eli Lilly and Company. Trulicity (Dulaglutide): US prescribing information. 2019. https ://pi.lilly .com/us/truli city-uspi.pdf. Accessed 9 Jun 2022.
  4. Umpierrez G, Povedano ST, Manghi FP. Efficacy and safety ofdulaglutide monotherapy versus metformin in type 2 diabetes in a randomized controlled trial (AWARD-3). Diabetes Care. 2014;37(8):2168–78.
  5. Nauck M, Weinstock RS, Umpierrez GE, et al. Efficacy and safety of dulaglutide versus sitagliptin after 52 weeks in type 2 diabetes in a randomized controlled trial (AWARD-5). Diabetes Care. 2014;37(8):2149–58.
  6. Dungan KM, Weitgasser R, Perez Manghi F, et al. A 24-week study to evaluate the efficacy and safety of once-weekly dulaglutide added on to glimepiride in type 2 diabetes (AWARD-8). Diabetes Obes Metab. 2016;18(5):475–82.
  7. Giorgino F, Benroubi M, Sun JH. Efficacy and safety of once weekly dulaglutide vs insulin glargine in patients with type 2 diabetes on metformin and glimepiride (AWARD-2). Diabetes Care. 2015;38(12):2241–9.
  8. Pozzilli P, Norwood P, Jodar E, et al. Placebo-controlled, randomized trial of the addition of once-weekly glucagon-like peptide-1 receptor agonist dulaglutide to titrated daily insulin glargine in patients with type 2 diabetes (AWARD-9). Diabetes Obes Metab. 2017;19(7):1024–31.
  9. Frias JP, Bonora E, Ruiz LN, et al. Efficacy and Safety of Dulaglutide 3.0 mg and 4.5 mg Versus Dulaglutide 1.5 mg in Metformin-Treated Patients with Type 2 Diabetes in a Randomized Controlled Trial (AWARD-11). Diabetes Care. 2021;44(3):765-773. doi: 10.2337/dc20-1473.
  10. Mody R, Huang Q, Yu M, et al. Clinical and economic outcomes among injection-naive patients with type 2 diabetes initiating dulaglutide compared with basal insulin in a US realworldsetting: the DISPEL study. BMJ Open Access Res Care.2019;7(1):e000884.
  11. Gerstein HC, Colhoun HM, Dagenais GR, et al. Dulaglutide and cardiovascular outcomes in type 2 diabetes (REWIND): a double-blind, randomised placebo-controlled trial. Lancet. 2019;394(10193):121–130. DOI:https://doi.org/10.1016/S0140-6736(19)31149-3
  12. Gerstein HC, Colhoun HM, Dagenais GR, et al. Dulaglutide and renal outcomes in type 2 diabetes: an exploratory analysis of the REWIND randomised, placebo-controlled trial. Lancet. 2019;394(10193):131-138. doi: 10.1016/S0140-6736(19)31150.
  13. Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (PERKENI). Pedoman pengelolaan dan pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 dewasa di Indonesia. Jakarta: PERKENI; 2021
  14. American Diabetes Association (ADA).  Standards of Medical Care in Diabetes – 2022. 2022. https://diabetesjournals.org/care/issue/45/Supplement_1. Accessed 11 Jun 2022.

 

The post Dulaglutide: Glucagon-Like Peptide 1 Receptor Agonist sebagai Terapi Diabetes Tipe 2 appeared first on PIOLK.

]]>
Mabuk Perjalanan (Motion Sickness) https://piolk.ubaya.ac.id/2022/06/08/mabuk-perjalanan-motion-sickness/ Wed, 08 Jun 2022 11:32:17 +0000 https://piolk.ubaya.ac.id/?p=1612 Beberapa karakteristik terkait peningkatan risiko mabuk perjalanan antara lain:1 Jenis kelamin –  dimana perempuan lebih peka terhadap kemungkinan terjadinya mabuk perjalanan dibanding laki-laki; Umur –  dimana mabuk perjalanan biasanya mulai terjadi di umur 6 tahun dan tertinggi frekuensinya di umur 9 tahun. Setelah itu saat remaja biasanya kejadian mabuk perjalanan akan lebih menurun. Pada orang […]

The post Mabuk Perjalanan (Motion Sickness) appeared first on PIOLK.

]]>

Penulis: Dr. Cecilia Brata, S.Si., M.Pharm., Apt.  

Mabuk perjalanan atau motion sickness merupakan suatu sindrom yang terjadi sebagai respon dari adanya suatu gerakan yang riil atau dipersepsikan.1 Secara sederhana, mabuk perjalanan terjadi akibat ketidakcocokan stimulus neural dari visual dan vestibular di otak.2 Gejala yang dialami dapat beragam, sering kali berupa mual, muntah, keringat dingin, kepala pusing, mengantuk, meneteskan air liur, dan sebagainya.1,3

Beberapa karakteristik terkait peningkatan risiko mabuk perjalanan antara lain:1

  1. Jenis kelamin –  dimana perempuan lebih peka terhadap kemungkinan terjadinya mabuk perjalanan dibanding laki-laki;
  2. Umur –  dimana mabuk perjalanan biasanya mulai terjadi di umur 6 tahun dan tertinggi frekuensinya di umur 9 tahun. Setelah itu saat remaja biasanya kejadian mabuk perjalanan akan lebih menurun. Pada orang tua, mabuk perjalanan lebih jarang terjadi;
  3. Fitness level – dimana pada orang yang level aerobic fitnessnya tinggi lebih peka terhadap kemungkinan terjadinya mabuk perjalanan; hal ini mungkin disebabkan karena sistem autonomi pada orang yang level aerobic fitnessnya tinggi lebih reaktif;
  4. Kondisi medis – dimana pasien dengan vertigo, patologi vestibular, meniere’s disease, dan migraine lebih berisiko terhadap kemungkinan terjadinya mabuk perjalanan;
  5. Hormones – Fluktuasi hormon saat hamil ataupun pada siklus menstruasi menyebabkan kepekaan terhadap terjadinya mabuk perjalanan meningkat.

Beberapa hal yang dapat dilakukan terkait penanganan non-farmakologi dari mabuk perjalanan antara lain:4

  1. Hindari membaca saat perjalanan;
  2. Usahakan melihat ke luar jendela saat perjalanan, pilih kursi yang menghadap searah dengan arah lajunya kendaraan;
  3. Hindari alkohol dan makan yang berlebihan;
  4. Cari tempat-tempat tertentu dimana gerakan biasanya paling tidak banyak dialami, seperti duduk di depan dalam perjalanan dengan mobil, duduk dekat dengan bagian sayap pada pesawat, pilih duduk di bagian tengah atau dek bagian atas  pada kapal;
  5. Hindari bau menyengat seperti bau makanan ataupun bau rokok;
  6. Bila memungkinkan, terutama dalam perjalanan darat, pasien adalah orang yang menyetir mobil.

Beberapa obat yang dapat digunakan untuk mengatasi mabuk perjalanan ini antara lain adalah antihistamin (contoh: dimenhidrinat, siklizin, difenhidramin, dan sebagainya) dan antikolinergik (contoh: skopolamin dan hyosin).1-5 Di pasar Indonesia, obat yang terutama sering digunakan untuk mengatasi mabuk perjalanan adalah golongan obat antihistamin dengan kandungan dimenhidrinat dengan beragam nama dagang. Pendekatan alternatif lain yang dikatakan dapat digunakan untuk mengatasi mabuk perjalanan adalah menggunakan jahe, meskipun bukti klinisnya masih terbatas. Selain itu penggunaan acupressure pada pergelangan tangan (P6 acupressure point – ) dianggap juga dapat membantu meredakan rasa mual karena mabuk perjalanan.5

Referensi

1. Takov V, Tadi P. Motion Sickness. [Updated 2021 Sep 29]. In: StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2022 Jan-. Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK539706/.

2. Shane-McWhorter L, Oderda L. Nausea and Vomiting. In: Berardi RR, Ferreri SP, Hume AL, et.al, editors. Handbook of Nonprescription Drugs: An interactive approach to self-care. 16th ed. Washington DC: American Pharmacists Association. 2009.

3. Blenkinsopp A, Duerden M, Blenkinsopp J. Symptoms in the Pharmacy: A Guide to the Management of Common Illness. 8th ed. West Sussex, UK: Wiley-Blackwell; 2018.

4. Welch AC. Nausea and Vomiting. In: Krinsky DL, Ferreri SP, Hemstreet BA, et.al. Handbook of Nonprescription Drugs: An Interactive Approach to Self-Care. 19th ed. Washington DC: American Pharmacists Association; 2018.

5. Leung AK, Hon KL. Motion sickness: an overview. Drugs Context. 2019;8:2019-9-4. doi:10.7573/dic.2019-9-4.

The post Mabuk Perjalanan (Motion Sickness) appeared first on PIOLK.

]]>
Evaluasi Efektivitas Obat Antibakteri dan Antivirus dalamTerapi COVID-19 https://piolk.ubaya.ac.id/2022/06/08/evaluasi-efektivitas-obat-antibakteri-dan-antivirus-dalamterapi-covid-19/ Wed, 08 Jun 2022 10:02:34 +0000 https://piolk.ubaya.ac.id/?p=1605 Berikut adalah ringkasan artikel yang berjudul: ‘Evaluation of antibacterial and antiviral drug effectiveness in COVID-19 therapy: a data-driven retrospective approach‘ yang diterbitkan di jurnal ‘Pathophysiology‘ pada bulan Maret 2022 (Pathophysiology 2022; 29: 92–105). Pada saat studi ini dilakukan pada tahun 2020, pandemi penyakit COVID-19 terjadi di Indonesia. Banyak penelitian yang relevan dengan infeksi COVID-19 dilakukan […]

The post Evaluasi Efektivitas Obat Antibakteri dan Antivirus dalamTerapi COVID-19 appeared first on PIOLK.

]]>
Penulis: Fauna Herawati, S.Si., M.Farm-Klin., Apt.
https://unsplash.com/s/photos/covid-19

Berikut adalah ringkasan artikel yang berjudul: ‘Evaluation of antibacterial and antiviral drug effectiveness in COVID-19 therapy: a data-driven retrospective approach‘ yang diterbitkan di jurnal ‘Pathophysiology‘ pada bulan Maret 2022 (Pathophysiology 2022; 29: 92–105). Pada saat studi ini dilakukan pada tahun 2020, pandemi penyakit COVID-19 terjadi di Indonesia. Banyak penelitian yang relevan dengan infeksi COVID-19 dilakukan karena insiden dan angka kematian yang relatif tinggi di hampir semua negara di dunia. Banyak pilihan obat yang digunakan dalam pengobatan pasien COVID-19, mulai dari obat-obat simptomatik, antiinflamasi, antibodi monoklonal, antivirus, hingga upaya ‘repurposing’ beberapa obat. Pedoman terapi dibuat dan direvisi dalam waktu yang singkat mengikuti perkembangan informasi dan penelitian di dunia. Pada tahun 2020 tercatat empat pedoman terapi yang terbit dan beredar di Indonesia. Dua pedoman diterbitkan oleh Kementerian Kesehatan pada bulan Maret (revisi ke-4) dan Juli (revisi ke-5), dua lainnya diterbitkan oleh gabungan lima organisasi profesi, yaitu: Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI), Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia (Perki), Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia (PAPDI), Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif Indonesia (PERDATIN) serta Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), pada bulan Agustus (edisi 2) dan Desember (edisi 3).

Penelitian retrospektif yang dilaporkan oleh artikel tersebut di atas dilakukan pada Juli-Desember 2022. Sebagian besar tenaga kesehatan di Indonesia memberikan pengobatan pada pasien COVID-19 berdasarkan ‘Pedoman Tatalaksana COVID-19 5OP Edisi 2’. Hal ini terlihat dari profil obat yang digunakan untuk pasien COVID-19 di empat rumah sakit tempat penelitian. Sepuluh jenis obat terbanyak adalah: azitromisin, asetilsistein, vitamin C, oseltamivir, levofloksasin, omeprazol, dexametason, asam folat, ondansetron, dan sukralfat.

Sejak 19 September 2020 Badan Pengawas Obat dan Makanan telah menerbitkan izin penggunaan remdesivir dalam kondisi darurat (Emergency Use Authorization [EUA] di Indonesia; dan pada bulan Oktober 2020, US Food and Drug Administration (FDA) menyetujui penggunaan remdesivir sebagai obat COVID-19. Status EUA ditetapkan oleh FDA untuk beberapa jenis obat, antara lain: baricitinib (November 2020), sotrovimab (Mei 2021), tocilizumab (Juni 2021), kombinasi tixagevimab dan cilgavimab (Desember 2021), nirmatrelvir tablet dan ritonavir tablet (Desember 2021), molnupiravir (Desember 2021), bebtelovimab (Februari 2022).

Pada penelitian ini model regresi logistik ganda dan analisis kovariat (ANCOVA) digunakan untuk menganalisis efektivitas berbagai obat antibakteri dan antivirus dengan memperhatikan usia pasien, jenis kelamin, tingkat keparahan COVID-19, dan komorbiditas sebagai faktor perancu. Rasio peluang (selanjutnya disebut rasio kesembuhan) juga dihitung untuk faktor-faktor yang mencapai signifikansi dalam modelnya. Tingkat signifikansi untuk semua tes ditetapkan pada tingkat 5%. Hasil analisis data menunjukkan bahwa usia dan komorbitas mempengaruhi kesembuhan pasien (p<0,05); lama rawat pasien lebih pendek pada penggunaan favipiravir (p<0,001); serta penggunaan azitromisin dan oseltamivir tidak meningkatkan rasio kesembuhan pasien COVID-19.

Referensi

Yulia R, Ikasanti PA, Herawati F, et al. Evaluation of antibacterial and antiviral drug effectiveness in Coivid-19 therapy: a data-driven retrospective approach. Pathophysiology. 2022; 29(1): 92-105.

Emergency Use Authorization. https://www.fda.gov/emergency-preparedness-and-response/mcm-legal-regulatory-and-policy-framework/emergency-use-authorization#coviddrugs (accessed 9 March 2022).

The post Evaluasi Efektivitas Obat Antibakteri dan Antivirus dalamTerapi COVID-19 appeared first on PIOLK.

]]>
Perbandingan Efek Hydromorphone vs Morphine dan Oxycodone pada Pasien dengan Nyeri Kanker https://piolk.ubaya.ac.id/2022/03/31/perbandingan-efek-hydromorphone-vs-morphine-dan-oxycodone-pada-pasien-dengan-nyeri-kanker/ Thu, 31 Mar 2022 13:52:41 +0000 https://piolk.ubaya.ac.id/?p=1592 Hydromorphone atau yang lebih dikenal dengan nama dagang Jurnista merupakan analgesik opioid poten yang bekerja sebagai agonis Mu reseptor pada Central Nervous System (CNS). Obat ini merupakan derivat semi sintetik dari Morfin yang sudah mulai digunakan dalam praktik klinis sejak 1926 sebagai penghilang nyeri dengan derajat sedang sampai parah pada pasien kanker atau pada pasien […]

The post Perbandingan Efek Hydromorphone vs Morphine dan Oxycodone pada Pasien dengan Nyeri Kanker appeared first on PIOLK.

]]>
Penulis : Ika Mulyono Putri Wibowo, S.Farm., M.Farm-Klin., Apt.

Hydromorphone
Hydromorphone
(National Institute of Health (NIH))

Hydromorphone atau yang lebih dikenal dengan nama dagang Jurnista merupakan analgesik opioid poten yang bekerja sebagai agonis Mu reseptor pada Central Nervous System (CNS). Obat ini merupakan derivat semi sintetik dari Morfin yang sudah mulai digunakan dalam praktik klinis sejak 1926 sebagai penghilang nyeri dengan derajat sedang sampai parah pada pasien kanker atau pada pasien yang opioid tolerant. Berbeda dengan obat anti nyeri pada umumnya dimana penggunaan obat hanya ketika merasakan nyeri saja, Hydromorphone tidak diindikasi untuk penggunaan bila perlu. Selain itu, obat ini juga tidak diindikasikan untuk terapi nyeri akut dan nyeri pasca operasi. Di Indonesia, hydromorphone tersedia dalam bentuk tablet lepas lambat dengan potensi sediaan 4 mg, 8 mg, 32 mg, dan 64 mg. Obat ini masuk dalam golongan obat narkotika. Dosis yang direkomendasikan adalah 4 mg setiap 24 jam dan tidak lebih dari 8 mg per 24 jam untuk pasien yang baru mendapatkan terpai. Dosis dapat ditingkatkan tergantung dari respon pasien.

Berdasarkan profil farmakokinetiknya, Hydromorphone memiliki onset of action antara 6-8 jam dengan konsentrasi tertinggi pada 18-24 jam dan memiliki bioavailabilitas 22-26% untuk dosis 8 mg, 16 mg, dan 32 mg. Kurang dari 30% akan berikatan dengan protein dan dimetabolisme oleh CYP2D6 melalui konjugasi dengan glukoronidase. Waktu paruh obat ini berkisar antara 2-3 jam untuk immediate release dan 11 jam untuk extended release. Pada pasien dengan gangguan ginjal bioavalabilitasnya akan meningkat 2-3 kali dan meningkat 4 kali pada pasien dengan gangguan liver.

Jika dibandingkan dengan Morfin, Hydromophone lebih cepat tereliminasi. Penelitian menunjukkan, dengan interval injeksi yang sama, ketika Hydromorphone diinjeksikan, konsentrasinya akan meningkat tajam dan turun dengan cepat. Berbeda dengan Morfin yang konsentrasinya akan meningkat dan bertahan selama beberapa jam. Hal ini disebabkan Hydromorphone cepat termetabolisme menjadi Hydromorphone-3-glucoronide yang tidak memberikan efek.

Pada pasien dengan gangguan ginjal, jika dibandingkan dengan Morfin dan Oxycodone, Hydromorphone relatif lebih aman. Morfin akan diekresi dalam bentuk metabolit aktif, Oxycodone dalam bentuk bebas dan terkonjugasi, sedangkan Hydromorphone akan diekskresi dalam bentuk metabolit inaktif. Penelitian dengan desain kohort pada 12 pasien dialysis menunjukkan lebih dari 65% penurunan nyeri. Hydromorphone akan dimetabolisme secara cepat menjadi Hydromorphone-3-glucoronide yang dapat terakumulasi, dimana peningkatan Hydromorphone-3-glucoronide sejalan dengan peningkatan sensory-type pain dan penurunan efek analgesik (p < 0,001). Penelitian juga melaporkan bahwa penggunaan Hydromophone juga tidak disertai munculnya efek toksisitas opioid.

Sebuah systematic review dari 13 artikel, menunjukkan Hydromorphone memiliki efek analgesik yang serupa dengan Morphine dan Oxycodone, sehingga obat ini dapat digunakan sebagai obat alternatif dari Morfin dan Oxycodone. Namun, superioritas Hydromorphone dibandingkan dengan kedua obat yang lain belum bisa dijelaskan. Penelitian meta-analysis dari 11 artikel yang membandingkan Hydromorphone dan Morfin menunjukkan bahwa Hydromorphone memiliki efek analgesik yang lebih baik dibandingkan Morfin pada nyeri akut (p < 0,01), sedangkan pada nyeri kronis keduanya memiliki efek analgesik yang setara.

Penelitian lain yang membandingkan efektivitas Hydromorphone dan Morfin pada bentuk sediaan immediate release maupun sustained release menunjukkan tidak ada perbedaan signifikan. Namun, pada sediaan sustained release Hydromorphone signifikan lebih lama mencapai steady state dibandingkan Morfin (p < 0,001). Hal ini sejalan dengan profil farmakokinetiknya, Hydromorphone kurang efektif untuk mengatasi nyeri jangka panjang dibandingkan Morfin.

Pada dua penelitian uji secara acak, efek analgesik Hydromorphone tidak berbeda secara signifikan dibandingkan Oxycodone. Pengukuran intensitas nyeri menggunakan Visual Analogue Scale (VAS) tidak menunjukkan perbedaan signifikan (p > 0,1). Hal yang sama juga ditunjukkan pada efektivitas kedua obat untuk indikasi rescue analgesic (p > 0,1).

Dari segi keamanan, efek samping yang seringkali muncul adalah konstipasi, mual, muntah, gatal, diare, dan somnolence. Pada kondisi nyeri akut, munculnya efek samping mual, muntah, dan gatal tidak berbeda pada pemberian Hydromorphone maupun Morphine, namun berbeda dengan kondisi nyeri kronis. Pada nyeri kronis, kejadian munculnya efek samping mual dan muntah lebih sering terjadi pada pemberian Hydromorphone dibandingkan dengan pemberian Morfin. Demikian halnya dengan efek samping mual, muntah, diare, dan somnolence, dimana kejadian muncul efek samping lebih sering terjadi pada pemberian Hydromophone dibandingkan Oxycodone.  

Practice points

Hydromorphone merupakan derivat Morfin yang seringkali digunakan pada pasien dengan nyeri kanker. Berdasarkan pedoman tatalaksana nyeri dari WHO, Hydromorphone dapat digunakan untuk nyeri dengan derajat parah, yang setara dengan penggunaan Morfin dan Oxycodone. Hydromorphone tidak diindikasikan untuk nyeri akut atau pasca operasi dan tidak dapat digunakan bila perlu saja. Obat ini cepat termetabolisme menjadi inaktif sehingga efek analgesiknya tidak bertahan lama. Penggunaan Hydromorphone pada nyeri akut, terbukti lebih baik dibandingkan Morphine, meskipun tidak berbeda signifikan pada kondisi nyeri kronis. Sedangkan, efektivitasnya tidak berbeda signifikan dibandingkan Oxycodone. Efek samping yang sering muncul pada penggunaan Hydromorphone adalah Konstipasi, Mual, dan Muntah, yang tidak berbeda signifikan dibandingkan dengan Morphine pada nyeri akut. Hydromorphone lebih aman digunakan pada pasien dengan gangguan ginjal dibandingkan dengan Morphine dan Oxycodone.

Referensi

WHO Guideline for Pharmacological and Radiotheurapeutics Management of Cancer Pain in Adults and Adolescents, 2018.

Fallon M, Gusti R, Aielli F, Hoskin P, Rolle R, Sharma M, Ripamonti CI, et. al. Management of cancer pain in adult patients: ESMO Clinical Practice Guidelines. Annals of Oncology, 2018;29(4):iv166-iv191.

Pigni A, Brunelli C, Caraceni A. The role of hydromorphone in cancer pain treatment: a systematic review. Palliative Medicine, 2010;25(5): 471-477.

Felden L, Wolter C, Harder S, Treee R.D, Kayser H, Draver D, Geisslinger G, Lotsch J. Comparative clinical effects of hydromorphone and morphine: a meta-analysis. British journal of Anaesthesia, 2011;107(3):319-28.

Hanna M, Thipphawong J, et. al. A randomised, double-blind, comparison of OROS hydromorphone and controlled-release morphine for the control of chronic cancer pain. BMC Palliative, 2008;7:17.

Hagen NA, Babul N. Comparative clinical efficacy and safety of a novel controlled-release oxycodone formulation and controlled-release hydromorphone in the treatment of cancer pain. American Cancer Society, 1997;79:1428-37.

Inoue S, Saito Y, Tsuneto S, Aruga E, Ide A, Kakurai Y. A randomized, double-blind study of hydromorphone hydrochloride extended-release tablets versus oxycodone hydrochloride extended-release tablets for cancer pain: efficacy and safety in Japanese cancer patients (EXHEAL: a Phase III study of EXtended-release HydromorphonE for cAncer pain reLief. Journal of Pain Research, 2017;10:1953-1962.

Dean M. Opioid in Renal Failure and Dialysis Patients. Journal of Pain and Symptom Management, 2004;28(5):497-504.

Davison SN, Mayo P. Pain management in chronic kidney disease: The pharmacokinetics and pharmacodynamics of hydromorphone and hydromophone-3-glucoronide in hemodialysis patients. Journal of Opioid Management, 2008;4(6):335-344.

Wirz S, Wartenberg H. Less nausea, emesis, and constipation comparing hydromorphone and morphine? A prospective open-labeled investigation on cancer pain. Support Care Cancer, 2008:16;999-1001.

The post Perbandingan Efek Hydromorphone vs Morphine dan Oxycodone pada Pasien dengan Nyeri Kanker appeared first on PIOLK.

]]>
Perangkat Edukasi: “Ayo Cerdas Menggunakan Antibiotik” https://piolk.ubaya.ac.id/2022/02/14/perangkat-edukasi-ayo-cerdas-menggunakan-antibiotik/ Mon, 14 Feb 2022 14:13:12 +0000 https://piolk.ubaya.ac.id/?p=1586 The post Perangkat Edukasi: “Ayo Cerdas Menggunakan Antibiotik” appeared first on PIOLK.

]]>

 

YouTube player

The post Perangkat Edukasi: “Ayo Cerdas Menggunakan Antibiotik” appeared first on PIOLK.

]]>
Adaptasi gaya hidup & pengobatan penyakit jantung https://piolk.ubaya.ac.id/2022/02/14/adaptasi-gaya-hidup-pengobatan-penyakit-jantung/ Mon, 14 Feb 2022 09:11:10 +0000 https://piolk.ubaya.ac.id/?p=1582 Oleh: Sylvi Irawati, S.Farm., M.Farm-Klin., Ph.D., Apt.

The post Adaptasi gaya hidup & pengobatan penyakit jantung appeared first on PIOLK.

]]>
Oleh: Sylvi Irawati, S.Farm., M.Farm-Klin., Ph.D., Apt.

YouTube player

The post Adaptasi gaya hidup & pengobatan penyakit jantung appeared first on PIOLK.

]]>